Riya’
Riya’
Tidak
Selayaknya bagi seorang yang berilmu untuk tidak mengajarkan ilmunya kepada
seseorang dengan alasan karena niat orang yang belajar tersebut belum benar,
karena sesungguhnya dia masih di harapkan agar baik niatnya, terkadang di
rasakan berat oleh kebanyakan para pemula dari kalangan para penuntut ilmu
masalah perbaikan niat karena lemahnya jiwa-jiwa mereka dan sedikitnya
kesenangan mereka terhadap kewajiban memperbaiki niat apalagi definisinya.
Penghargaan Bahasa Inggris Terbaik |
Sesungguhnya
beribadah kepada Allah adalah wajib atas umat manusia (hamba Allah Swt), dalam
menjalani kehidupan di dunia ini memang sudah semestinya kita beribadah kepada
Allah, seleuruh tata cara ibadah ini sudah di atur dalam Al-Qur’an, As-Sunnah
dan Al-Hadist, hal ini lebih di kenal sekarang dengan ilmu muamalah (fiqh),
sendi-sendi aturan ini sudah lengkap dan inilah yang membuat umat manusia
(muslim) selamat di dunia dan akhirat, tetapi ada batasan-batasan seseorang
hamba dalam melaksanakan ibadah ini, usahakan jangan sampai kepada kategori
ibadah yang ria, karena hal ini adalah menghancurkan faedah ibadah itu
sendiri.
Sungguh
Iblis telah memberikan tipu dayanya kepada seorang pemberi nasihat yang ikhlas,
maka Iblispun berkata kepadanya : “Orang sepertimu tidaklah memberi nasehat dan
akan tetapi kamu hanya pura-pura memberi nasihat.” Akhirnya diapun diam dan
berhenti dari memberi nasehat. Itulah di antara makar Iblis, karena dia
menginginkan menghalangi perbuatan yang baik…. Iblispun juga berkata :
“Sesungguhnya kamu ingin bernikmat-nikmat dengan apa yang kamu sampaikan dan
kamu akan mendapatkan kesenangan karena hal itu, dan kadang-kadang akan muncul
perasaan riya` pada ucapanmu, dan menyendiri itu lebih selamat.” Maksud dari
perkataan ini adalah menghalangi dari berbagai kebaikan”.
Apabila
seseorang mendapatkan dalam dirinya kecenderungan kepada sifat ria dan senang
untuk berbangga-bangga dengan maksud tertentu, maka wajib baginya untuk
menyibukkan diri dengan memperbaiki niat, bersungguh-sungguh melatih jiwanya
agar tetap di atas keikhlasan dan jaga agar tidak tampil sifat sedemikian,
hilangkan was-was syaithan, berlindung diri dari kejahatan dan kejelekannya
sampai niatnya kembali menjadi bersih dari berbagai kotoran ria dan yang
lainnya, dan tertutuplah pintu-pintu masuk iblis dan syaithan yang biasa
menyusup dari sela-sela jiwa manusia. Di
dalam Alquran telah dijelaskan bahwa perbuatan riya dapat menghilangkan pahala
atas amalan-amalan yang telah diperbuatnya. Disebutkan dalam surat Al-Furqan
ayat 23, yang berbunyi :
وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً
مَنْثُورًا
”Dan
Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu
(bagaikan) debu yang berterbangan.” (Q.S. Al-Furqan : 23).
Para ulama mengklasikfikasikan riya’ bermacam-macam,
diantaranya ialah :
Pertama, ria
dari segi fisik (ar-riya’ min jihat al-badan), tandanya yaitu
menampakkan wajah pucat agar di sangka sedang berpuasa, atau menunjukkan
kesedihan agar di sangka peduli dengan urusan agama, atau menampakkan rambut
yang kusut agar di sangka tenggelam dengan urusan agama dan tidak memikirkan
dirinya sendiri, atau menampakkan mulut yang bau agar di sangka sedang
berpuasa, atau merendahkan suara agar di sangka sedang serius ber-mujahadah.
Kedua, ria
dari segi gaya (ar-riya’ bil hay’ah), tandanya yaitu seperti memendekkan
kumis, menundukkan kepala ketika berjalan, menampakkan ketenangan ketika
berjalan, meninggalkan bekas sujud di wajah (maksudnya: tanda hitam di jidat),
memejamkan mata agar di sangka sedang terkena tarikan rohani (al-wajd) dan
penampakan rohani (mukasyafah) atau sedang tenggelam memikirkan sesuatu
persoalan (gha’ish fil fikr).
Ketiga, ria
dari segi pakaian (ar-riya’ fi al-tsiyab), tandanya yaitu seperti
memakai pakaian ala sufi, pakaian kasar, memendekkan pakaian sampai setengah
betis, membiarkan pakaian terlihat compang-camping dan kumal, semuanya itu agar
di sangka ia tidak punya waktu untuk mengurusi yang demikian. Tanda lainnya
shalat di atas sajadah agar di sangka seorang ahli ibadah, padahal ia tidak
tahu siapa hakikat ibadah yang sebenarnya. Tanda lainnya adalah memakai jubah,
selendang, dan melebarkan lengan baju, agar di sangka ia orang alim ulama.
Tanda lainnya adalah memakai kaos tangan/kaki agar di sangka ia orang yang
hidup sederhana karena begitu hati-hatinya dengan debu jalanan.
|
Kelima, ria
dari segi perbuatan (ar-riya’ bil amal), tandanya yaitu seperti
berlama-lama berdiri ketika shalat, membagus-baguskan ruku‘ dan sujud,
menundukkan kepala, tidak banyak bergerak, gemar bersedekah, berpuasa, berhaji,
pelan dalam berjalan, mengendurkan kelopak mata, padahal Allah Swt tahu
seandainya ia dalam kesendirian, ia tidak akan melakukan semua itu, bahkan, ia
akan malas-malasan ketika shalat, cepat-cepat ketika berjalan, namun ketika
muncul orang lain, ia kembali bersikap tenang, agar di sangka khusyu‘.
Keenam, ria
dari segi memperbanyak murid dan sahabat dan memperbanyak menyebut nama para
guru (ar-riya’ bi katsrat al-talamidzat wal ashhab wa katsrat dzikr
al-syuyukh), agar di sangka ia banyak bertemu dengan para guru, atau
seperti orang yang senang di datangi para ulama dan penguasa, agar di sangka
sebagai orang yang di minta keberkahannya.
|
“Karena memang
Rasulullah SAW sendiri menggambarkan riya’ itu sangat samar seperti jalan
seekor semut.
Bisa dibayangkan betapa halusnya dan betapa
samarnya”
Copyright@POJOKYAPIKA
( KH Ali Mu'in Amnur Lc M.Pd.I )
Post a Comment for "Riya’"